PERTANYAAN apakah kontingen Indonedia
akan berhasil menjadi juara umum dalam SEA
Games 2011 di Jakarta dan Palembang, 11-22
November mendatang ini, patut dijawab dengan
dua alasan. Pertama historis, kedua filosofis.
Sejarah membuktikan, dalam tiga kali sebelumnya
menjadi tuan rumah SEA Games (1979, 1987, 1997)
kontingenn “Merah Putih” selalu menjadi pengumpul
medali emas terbanyak di antara seluruh 10 negara
peserta (belum termasuk Timor Leste yang baru mulai
bergabung 2003).Keunggulan para atlet kita, berupa
keberhasilan merebut posisi puncak itu juga selalu
dengan cara yang meyakinkan.
Beda jauh dengan lawan-lawan kita, bahkan termasuk
ketika dua tahun sebelumnya gelar tak resmi tapi
prestisus itu direbut oleh Thailand pada 1985 dan 1995.
Kemampuan PB-PB dan para atlet kita melakukan
“recovery”, bersama kepandaian pengurus KONI dan
jajarannya mengorganisasi SEA Games 1987 dan 1997
sehingga mampu meraih sukses ganda (menjadi juara
umum sekaligus penyelenggara yang baik), sungguh
patut diacungi jempol. Apa pun bentuk strategi
pemenangannya.Kini, dengan mengandaikan sejarah
akan berulang, dan juga berasumsi tekad dan semangat
para pengurus PB, lebih-lebih para atlet, tidak mau lagi
menjadi pecundang di arena laga antarbangsa Asia
Tenggara ini, wajar kan kalau posisi juara umum itu bisa
direbut kembali?Itu masih ditambah dengan filosofi
”harus sukses” yang terus-menerus dicanangkan oleh
seluruh pemangku kepentingan di dalamnya. Khususnya
KONI yang kini berwujud Pelatnas Prima, KOI yang
menjadi tulang punggung Inasoc, dan Kemenpora sebagai
perwakilan pemerintah, pihak yang memasok hampir
serluruh kebutuhan dana dan fasilitasnya.Bagaimana
kira-kira nanti realisasinya? Masyarakat luas perlu
mendapat penjelasan. Mereka layak mendapat
“progress report” dan semacam data analisis terbaru
mengenai kemungkinan terjadi atau tidaknya ulangan
sejarah dan tercapai atau tidaknya target besar yang
sudah lama digadang-gadang itu. DaruratPara pemangku
kepentingan yang kini sedang aktif menjadi “sutradara”
atau “pimpinan produksi”, tapi tidak benar-benar
memahami masa lalu, mungkin perlu diingatkan bahwa
gelar-gelar juara umum yang kita rebut di era 1970-an
sampai 1990-an, termasuk tatkala tiga kali menjadi tuan
rumah, berlangsung dalam situasi dan kondisi “normal”.
Kondisi yang stabil dan mantap itu berwujud dengan
adanya prestasi tinggi dari para atlet kita di level Asia
Tenggara. Bahkan, sebagian dari mereka juga Berjaya di
tingkat Asia dan dunia, pada masa-masa itu. Sehingga,
merebut posisi juara umum SEA Games bukanlah
perkara yang sulit. Ketika terlepas, merebut kembalinya
pun sepertinya mudah saja.Tapi, menjelang masuk
milenium ketiga, dan setelah upaya-upaya kaderisasi
\ dan regenerasi mulai terlambat dan terhambat oleh
berbagai hal dan diperparah dengan Krisis Moneter 1998,
gelar juara umum itu menjadi seperrti licin di tangan,
sampai akhirnya lepas pada SEA Games 1999, dan belum
bisa direbut lagi. Peringkat kontingen kita terus merosot,
sampai pernah begitu terpuruk hingga nomor lima di SEA
Games 2005 dan pelan-pelan merambat naik sampai
menjadi nomor tiga di Laos 2009. Peringkat ketiga ini
dan posisi sebagai tuan rumah sekarang seolah-olah
membuat kita boleh optimistis, bahkan yakin, para atlet
kita nanti akan tampil sebagai juara umum.Jelas itu
pandangan yang tidak tepat ataupun benar. Strata prestasi
atlet kita bukan lagi seperti di masa lalu. Pikiran seperti
itu menjadi lebih salah setelah semua persiapan kita,
terutama pembangunan infrastruktur dan penyediaan
peralatan pertandingan, berantakan plus amburadul.
Apakah dalam kondisi yang patut disebut darurat ini,
kita masih bertekad atau berharap kontingen Indonesia
bisa menjadi tuan rumah yang baik sambil juga merebut
posisi juara umum? Syukur-syukur pula kemudian para
atlet terbaik kita itu mampu meraih lebih dari satu medali
emas pada Olimpiade 2012, tetap juara umum pada
SEA Games 2013, dan merebut lebih dari empat emas
pada Asian Games 2014?Sepak BolaDalam kondisi
terburuk sepanjang sejarah kita sebagai tuan rumah
SEA Games, tampaknya lebih baik kita menundukkan
kepala dan berdoa semoga minimal bukan hanya upacara
pembukaannya (dengan biaya raksasa Rp 120 miliar)
yang akan berlangsung megah dan meriah.
Seluruh acara lain hingga penutupan,
semoga pula berjalan tanpa banyak protes dan keluhan.
Juara umum? Biarlah menjadi hasil bagus dari kontingen
yang memang memiliki lebih banyak atlet dengan prestasi
lebih tinggi dan telah dipersiapkan lebih baik pula untuk
berlaga ke Jakarta dan Palembang nanti. Masuk akal pula
pandangan Richard Sambera, perenang yang telah
berkali-kali meraih emas SEA Games, bahwa posisi
Indonesia akan tetap di peringkat ketiga, di bawah
Thailand dan Vietnam.Jika hasil buruk itu yang betul
akan terjadi, harapan untuk membuat masyarakat kita
terhibur hanyalah jika rumus sederhana
“Win Sprint and Soccer”
(Menangkan Lari Sprint dan Sepak bola) terpenuhi.
Tapi, gelar juara lari sprint 100 atau 200 meter
tampaknya tak akan bisa juga direbut karena jagoan kita,
Suryo Agung Wibowo, mengundurkan diri. Sepak bola?
Dengan di babak penyisihan sudah langsung berhadapan
dengan Thailand, Singapura, Malaysia, plus Kamboja?
Kuncinya ada di sini: perjuangan ekstra-keras pasukan
Rahmad Darmawan dan dukungan doa dari para penggila
sepak bola yang sudah 20 tahun merindukan kembalinya
medali emas olahraga terpopuler ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar